Sumber Informasi Seni Dan Budaya Jogja

Rabu, 28 Desember 2011

Seni Perak, Kerajinan Khas Kotagede

YOGYAKARTA (NONI) -  Seni perak merupakan salah satu kerajinan khas warisan budaya leluhur yang turun-temurun telah dilakukan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Kotagede Yogyakarta.
            Dari sejarah yang ada, keberadaan pengrajin perak muncul seiring dengan lahirnya Mataram serta peran dari Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang masuk ke Yogyakarta sekitar abad ke-16. Sejarah mencatat, waktu itu banyak pedagang VOC yang memesan alat-alat rumah tangga dari emas, perak, tembaga dan kuningan ke penduduk setempat di wilayah Kotagede.
            Seiring berjalannya waktu, sampai saat ini masyarakat dikawasan Kotagede masih banyak berprofesi sebagai pengrajin perak, karena kerajinan perak menjadi produk yang paling banyak diminati. Dalam perkembangannya itu pula kerajinan perak menjadi ciri khas daerah Kotagede dan juga sebagai salah satu mata pencaharian utama masyarakat Kotagede.
            Ketika memasuki kawasan Kotagede, para wisatawan lokal maupun mancanegara sudah langsung bisa menikmati berbagai kerajinan perak di sepanjang jalan Kotagede. Kerajinan perak tersebut dapat dinikmati di galeri atau toko perak seperti Tom Silver, Permata Silver, HS Silver dan toko perak kecil-kecilan yang di pajang di teras depan rumah penduduk dengan jenis dan harga yang beraneka ragam.

Gapura Kawasan Kerajinan Perak Kotagede



 
Endry Partiyono, salah satu pengrajin perak Kotagede mengatakan ia memilih sebagai pengrajin perak dikarenakan kawasan Kotagede merupakan daerah startegis penjualan perak serta banyaknya mayoritas masyarakat di kawasan ini bermata pencaharian pengrajin perak.
            “Saya menjadi pengrajin perak sampai saat ini karena dulu orang tua saya bekerja sebagai pengrajin perak dan lingkungan sekitar yang merupakan mayoritas pengrajin perak semua,” ucap Endry ketika ditemui di rumahnya yang sekaligus dijadikan sebagai toko peraknya beberapa waktu yang lalu.
            Sudah 20 tahun Endry bekerja sebagai pengrajin perak, ia mengaku 10 tahun ia bekerja di Bali sebagai pengrajin perak. Alasan Endry bekerja di Bali sebagai pengrajin perak karena ingin mencari pengalaman yang baru dengan harapan perak banyak diminati oleh masyarakat Bali. Namun, harapannya berbanding terbalik dengan realita yang ia jalani, sedikit sekali masyrakat Bali yang berminat pada kerajinan perak. Selain itu, Karena tuntutan hidup yang semakin meningkat, penghasilan Endry mengalami penurunan dan ia pun memutuskan untuk melanjutkan profesinya 10 tahun terakhir ini di Kotagede Yogyakarta.
            Persaingan sesama pengrajin perak memang dirasakan oleh Endry, namun persaingan tersebut tidak menjadi hal yang serius baginya. “Para pengrajin perak di tempat ini bersaing secara wajar, karena lingkungan yang memang sangat mendukung dan biasanya saling membantu apabila ada pengrajin yang kekurangan bahan baku,” katanya.
            Ia mengatakan pula, bahan baku seperti tembaga dan perak biasanya ia beli di beberapa pedagang apabila mendapat pesanan souvenir dalam partai besar seperti bros yang biasanya dijadikan sebagai cinderamata pernikahan. Salah satu hambatan atau suka duka Endry sebagai pengrajin perak yaitu ketika pemesan tidak mengambil barang yang sudah dibuat dengan waktu yang sangat lama sehingga perak yang telah jadi terpaksa dileburkan kembali.

Salah satu kegiatan Endry sebagai pengrajin perak

 
“Hambatan dari pelanggan ini yang terkadang membuat saya mengalami kerugian, saya sudah membeli bahan dasar dari pedagang lain namun setelah barang sudah jadi, pelanggan yang telah memesan itu tidak mengambil barang pesanannya, terpaksa saya leburkan kembali dan membuat yang baru untuk saya jual,” papar Endry sambil tersenyum seolah-olah hal teresebut sudah biasa ia hadapi
            Endry berharap toko perak yang ia jalani saat ini maju dan berkembang serta pendapatan pun meningkat. Sampai saat ini toko perak Endry cukup laris karena banyaknya pemesan yang berdatangan dari daerah lain seperti Solo, Surabaya dan kota lainnya untuk memesan souvenir perak dalam partai besar ditempatnya. Hal tersebut merupakan keberuntungan baginya sebagai pengrajin perak di Kotagede Yogyakarta.
            Harga jual perak Kotagede beraneka ragam, pada toko peraknya Endry mematok harga mulai dari yang termurah seperti bros yang rata-rata Rp 15 ribu, cincin maupun kalung perak mulai harga Rp 50 ribu sampai dengan Rp 200 ribu tergantung dengan tingkat kerumitan pembuatannya dan banyaknya pemesanan. Harga yang dipatok Endry tidak jauh berbeda dengan toko perak lainnya.

Perak yang belum dileburkan untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan cincin, kalung dll

Cincin perak permata, salah satu hasil karya kerajinan perak Endry dengan tingkat kesulitan tersendiri
Pengrajin perak Kotagede terkenal dengan produknya yang unik, halus dan telaten dalam menggarap produk peraknya sehingga menghasilkan karya seni yang bernilai tinggi. Perak Kotagede merupakan souvenir yang sangat berharga dan koleksi yang bisa diwariskan antar generasi. (Jogja Art&Culture)


 Noni Febrina Saetban (153080085/B)

CALUNGFUNK ON THE STREET


Calungfunk adalah grup musisi jalanan yang menggelar pertunjukan tepat di pinggir jalan sebelah barat di seberang Mall Malioboro, Yogyakarta. Hampir setiap hari, mereka memainkan musik dan menghibur pengunjung di kawasan Malioboro. Grup calungfunk diantara grupnya adalah Putra (21), Joko (20), Joni (20), Gani (20) dan Istiqlal (35). Banyak lagu mengalir tanpa henti, mulai dari pop, dangdut, serta tembang campursari. Beberapa penonton bisa reques  mengajukan permintaan lagu untuk dimainkan oleh canglufunk. Seolah menantang kemegahan gedung mall dan membelah hiru pikuknya penujung.
Sementara itu para pejalan kaki yang melintas di kawasan Malioboro itu banyak yang menyempatkan diri untuk mampir dan larut dalam suasana gembira. Mereka bergoyang mengikuti alunan musik melodi lagu, sembari memasukkan lembaran-lembaran rupiah ke dalam kotak tat kala hujan lokat pada satu tempat yang sederhana. Calungfunk ini berakar dari tetabuhan tradisional Banyumasan Angklung itu begitu kontras berpacu dengan napas modernitas di sekitarnya. Seni tradisional yang dikemas dalam modernisasi ini sangat di minati oleh pengujung, kolaborasi yang indah bak matahari sore serasa menyatu dengan air laut. Terlihat indah di waktu semakin sore alunannya selalu memmbuat semangat para penikmat calung ini.
Bait lagu “Malioboro” milik Doel Sumbang yang populer di tahun '90-an itu mengalir riang dari mulut para personil Calungfunk sambil masing-masing dari mereka tetap berkonsentrasi memainkan calung (yang biasa kita kenal dengan angklung), tetabuhan kenthong bambu dan seperangkat perkusi bass-drum yang terbuat gentong plastik serta kaleng cat  ukuran besar. Menambah keriang pengunjung Malioboro dengan lagu-lagu yang asyik untuk didengar sedikit penggalan lagu yang dsajiakan calungfunk .

Ada lagu yang indah di Malioboro
Lagu cinta tentang engkau dan aku
Ada sajak yang indah di Malioboro
Sajak cinta tentang engkau dan aku

Setiap hari, para personil Calungfunk berangkat berjalan kaki dari kediaman mereka di kawasan Jl.Mataram menuju Jl.Malioboro menyusuri kampung Sosrokusuman. Hal itu dilkukan sambil menenteng alat musik masing-masing, tanpa rasa lelah berjalan untuk dapat memperoleh pundi-pundi rupiah. Tak jarang, pertunjukan bisa dimulai dua jam sebelumnya, terutama ketika musim liburan sekolah atau tutup tahun saat wisatawan sedang ramai berkunjung ke Malioboro. Sebelum ngamen, meraka  mempersiapkan alat, dan makan dulu di rumah. Jadi setibanya di lokasi sudah tinggal ngamen. Tidak hanya memainkan alat musik, tetapi mereka juga menyanyikan lagu-lagu yang sudah dilatih bersama dan dihapalkan sebelumnya. Tanpa rasa lelah tetap semangat mereka menghibur  pengunjung bagai kobaran api yang menyala-nyala dan siap memmbakar sekitar. Semangat merekalah membuat penggemar setia mereka semakin menyemut  mengrumuni ketika malam semakin merangkak naik.
Alat musik calung yang dimainkannya pun harus dibuat serta dipesan khusus dari Purbalingga. “Di Jogja belum ada yang bisa bikin calung,” lanjutnyaujar Putra. Calung miliknya terbuat dari buluh bambu- seperti angklung biasa-, namun dijejer dan dikaitkan memakai karet pada rangka utama yang terbuat dari kayu. Jumlah calungnya ada 21 buah berbaris dengan ukuran berbeda dari yang kecil sepanjang 20cm hingga yang terpanjang sekitar 50cm. “Prinsip tangga nadanya sama seperti keyboard atau organ biasa. Nah, dengan 21 nada, calung saya ini ukurannya setengah dari keyboard itu,” jelas pria berambut hitam cepak itu dengan logat Banyumasan yang kental.
Saat ini grup Calungnya yang dikenal calungfunk berusia hampir 3 tahun tersebut sudah banyak memiliki tabungan  lagu yang cukup banyak. Mulai dari lagu dangdut, pop Indonesia, tembang campursari Jawa maupun tembang tradisional Banyumasan itu sendiri. “Kita selalu menambah lagu baru, apalagi kalau ada penonton yang minta lagu pop sekarang, kayak lagunya Wali, ST12 atau Ungu,” tambahnya.
Calungfunk memang terlihat berbeda dari musisi jalanan yang lainnya. Gaya berpakaian mereka terbilang rapi dan bersih. Selain musik mereka yang rancak dan mengajak badan bergoyang, penampilan mereka pun jadi enak dilihat. Penghasilan mereka pun bisa dibilang cukup besar yaitu mencapai Rp 300.000 per harinya itu cukup untuk biaya sehari-hari. Mereka juga tidak hanya ngamen untuk memperoleh penghasilan juga bisa diundang tampil diacara dengan tarif berbeda. Tarif perjamnya Rp 500.000 sedangkan untuk tarif borongan minimal Rp 1,5juta sekali tampil. Dengan peluang penghasilan yang cukup, Putra tak menampik ingin bekerja di bidang profesi lain, Ia pun ingin tetap melestarikan kesenian calung dan tetabuhan tradisional Banyumasnya tersebut tanpa harus terseret trend seperti pengamen lain di kawasan Malioboro. Karena zaman sekarang  para pemuda sudah malas dengan alat-alat tradisional, padahal kita sendiri yang harus menjaga kelestarian dan kekayaan budaya yang saat ini yang merupakan jantungnya kota.
Semakin lama kerumunan penonton masih betah dan setia berdiri menyaksikan pertunjukan kesenian calung. Di akhir pertunjukan pada sesi yang kedua, setelah menyanyikan beberapa tembang campursari permintaan penonton, Calungfunk pun berpamitan lewat lagu “Kapan-Kapan”. (Setiawan Y Wijayanta/ 153.080.258)

Selasa, 27 Desember 2011

Sanggar Tari Angin-angin Yogyakarta. “Mandiri dan Kreatif”.

 
Tiar (kanan) beserta anggota Sanggar Tari Angin-angin


YOGYAKARTA (NONI) – Mandiri dan kreatif merupakan kekhasan yang dimiliki oleh sanggar tari yang sudah dua tahun lebih meramaikan kesenian seni tari yang ada di Yogyakarta ini. Setiap tarian yang mereka tampilkan adalah bentuk dari hasil kreasi anggota mereka sendiri.
            Tiar yang merupakan salah satu anggota sekaligus koordinator dari sanggar ini mengaku dalam membuat karya tari ia beserta anggota lainnya lebih memilih untuk membuat karya tari ciptaan sendiri dibandingkan dengan mengambil ciptaan tarian yang sudah ada.
            “Biasanyakan di setiap padepokan-padepokan sanggar tari itu ada yang menciptkan tarian sendiri dan ada pula yang mengambil karya tari dari tarian-tarian yang sudah ada. Tarian yang kami ciptakan pun tidak terlepas dari bentuk tarian tradisional Jawa di Yogyakarta,” ucapnya ketika ditemui usai penampilan sendratarinya pada acara Pawiwahan Budaya di Balai Kota Yogyakarta Senin, 19 Desember 2011.
            Latar belakang yang berdirinya sanggar tari ini cukup sederhana, ia beserta teman-temannya yang merupakan lulusan jurusan tari baik di ISI maupun UNY ingin meramaikan sanggar tari yang ada di kota Yogyakarta. Selain itu juga, ingin mengembangkan ilmu yang telah mereka dapatkan di jurusan seni tari.
            “Sangat di sayangkan kalau ilmu yang kami dapat tidak dikembangkan, jadinya kami sepakat membuat sanggar tari sendiri dengan kreasi sendiri, manfaatnya untuk kami bisa menampilkan yang terbaik di mata masyarakat,” katanya.
            Di dalam proses belajar seni tari, Sanggar Tari Angin-angin membedakan antara usia anak-anak maupun usia dewasa, karena materi yang mereka terima pun berbeda-beda dengan tingkat kesulitan tersendiri. Sanggar tari ini berlokasi di Ngabean Yogyakarta dan telah beranggotakan kurang lebih 50 orang.
            Penghargaan pun belum pernah mereka raih karena Tiar mengaku mereka belum pernah mengikut kompetisi apapun, namun karya tari yang mereka ciptakan sering mereka tampilkan pada acara-acara besar seperti acara Hari Batik Nasional maupun Pawiwahan Budaya Yogyakarta dengan menampilkan karya tari yang bernama “Ange Batik” (Tarian yang bermakna proses membatik).
            “Walaupun belum pernah mendapatkan penghargaan, saya berharap Sanggar Tari Angin-angin tetap maju dan tetap memberikan yang terbaik serta dikenal banyak orang khususnya masyarakat kota Yogyakarta,” pungkasnya.

Noni Febrina Saetban (153080085/B)