Sumber Informasi Seni Dan Budaya Jogja

Rabu, 28 Desember 2011

CALUNGFUNK ON THE STREET


Calungfunk adalah grup musisi jalanan yang menggelar pertunjukan tepat di pinggir jalan sebelah barat di seberang Mall Malioboro, Yogyakarta. Hampir setiap hari, mereka memainkan musik dan menghibur pengunjung di kawasan Malioboro. Grup calungfunk diantara grupnya adalah Putra (21), Joko (20), Joni (20), Gani (20) dan Istiqlal (35). Banyak lagu mengalir tanpa henti, mulai dari pop, dangdut, serta tembang campursari. Beberapa penonton bisa reques  mengajukan permintaan lagu untuk dimainkan oleh canglufunk. Seolah menantang kemegahan gedung mall dan membelah hiru pikuknya penujung.
Sementara itu para pejalan kaki yang melintas di kawasan Malioboro itu banyak yang menyempatkan diri untuk mampir dan larut dalam suasana gembira. Mereka bergoyang mengikuti alunan musik melodi lagu, sembari memasukkan lembaran-lembaran rupiah ke dalam kotak tat kala hujan lokat pada satu tempat yang sederhana. Calungfunk ini berakar dari tetabuhan tradisional Banyumasan Angklung itu begitu kontras berpacu dengan napas modernitas di sekitarnya. Seni tradisional yang dikemas dalam modernisasi ini sangat di minati oleh pengujung, kolaborasi yang indah bak matahari sore serasa menyatu dengan air laut. Terlihat indah di waktu semakin sore alunannya selalu memmbuat semangat para penikmat calung ini.
Bait lagu “Malioboro” milik Doel Sumbang yang populer di tahun '90-an itu mengalir riang dari mulut para personil Calungfunk sambil masing-masing dari mereka tetap berkonsentrasi memainkan calung (yang biasa kita kenal dengan angklung), tetabuhan kenthong bambu dan seperangkat perkusi bass-drum yang terbuat gentong plastik serta kaleng cat  ukuran besar. Menambah keriang pengunjung Malioboro dengan lagu-lagu yang asyik untuk didengar sedikit penggalan lagu yang dsajiakan calungfunk .

Ada lagu yang indah di Malioboro
Lagu cinta tentang engkau dan aku
Ada sajak yang indah di Malioboro
Sajak cinta tentang engkau dan aku

Setiap hari, para personil Calungfunk berangkat berjalan kaki dari kediaman mereka di kawasan Jl.Mataram menuju Jl.Malioboro menyusuri kampung Sosrokusuman. Hal itu dilkukan sambil menenteng alat musik masing-masing, tanpa rasa lelah berjalan untuk dapat memperoleh pundi-pundi rupiah. Tak jarang, pertunjukan bisa dimulai dua jam sebelumnya, terutama ketika musim liburan sekolah atau tutup tahun saat wisatawan sedang ramai berkunjung ke Malioboro. Sebelum ngamen, meraka  mempersiapkan alat, dan makan dulu di rumah. Jadi setibanya di lokasi sudah tinggal ngamen. Tidak hanya memainkan alat musik, tetapi mereka juga menyanyikan lagu-lagu yang sudah dilatih bersama dan dihapalkan sebelumnya. Tanpa rasa lelah tetap semangat mereka menghibur  pengunjung bagai kobaran api yang menyala-nyala dan siap memmbakar sekitar. Semangat merekalah membuat penggemar setia mereka semakin menyemut  mengrumuni ketika malam semakin merangkak naik.
Alat musik calung yang dimainkannya pun harus dibuat serta dipesan khusus dari Purbalingga. “Di Jogja belum ada yang bisa bikin calung,” lanjutnyaujar Putra. Calung miliknya terbuat dari buluh bambu- seperti angklung biasa-, namun dijejer dan dikaitkan memakai karet pada rangka utama yang terbuat dari kayu. Jumlah calungnya ada 21 buah berbaris dengan ukuran berbeda dari yang kecil sepanjang 20cm hingga yang terpanjang sekitar 50cm. “Prinsip tangga nadanya sama seperti keyboard atau organ biasa. Nah, dengan 21 nada, calung saya ini ukurannya setengah dari keyboard itu,” jelas pria berambut hitam cepak itu dengan logat Banyumasan yang kental.
Saat ini grup Calungnya yang dikenal calungfunk berusia hampir 3 tahun tersebut sudah banyak memiliki tabungan  lagu yang cukup banyak. Mulai dari lagu dangdut, pop Indonesia, tembang campursari Jawa maupun tembang tradisional Banyumasan itu sendiri. “Kita selalu menambah lagu baru, apalagi kalau ada penonton yang minta lagu pop sekarang, kayak lagunya Wali, ST12 atau Ungu,” tambahnya.
Calungfunk memang terlihat berbeda dari musisi jalanan yang lainnya. Gaya berpakaian mereka terbilang rapi dan bersih. Selain musik mereka yang rancak dan mengajak badan bergoyang, penampilan mereka pun jadi enak dilihat. Penghasilan mereka pun bisa dibilang cukup besar yaitu mencapai Rp 300.000 per harinya itu cukup untuk biaya sehari-hari. Mereka juga tidak hanya ngamen untuk memperoleh penghasilan juga bisa diundang tampil diacara dengan tarif berbeda. Tarif perjamnya Rp 500.000 sedangkan untuk tarif borongan minimal Rp 1,5juta sekali tampil. Dengan peluang penghasilan yang cukup, Putra tak menampik ingin bekerja di bidang profesi lain, Ia pun ingin tetap melestarikan kesenian calung dan tetabuhan tradisional Banyumasnya tersebut tanpa harus terseret trend seperti pengamen lain di kawasan Malioboro. Karena zaman sekarang  para pemuda sudah malas dengan alat-alat tradisional, padahal kita sendiri yang harus menjaga kelestarian dan kekayaan budaya yang saat ini yang merupakan jantungnya kota.
Semakin lama kerumunan penonton masih betah dan setia berdiri menyaksikan pertunjukan kesenian calung. Di akhir pertunjukan pada sesi yang kedua, setelah menyanyikan beberapa tembang campursari permintaan penonton, Calungfunk pun berpamitan lewat lagu “Kapan-Kapan”. (Setiawan Y Wijayanta/ 153.080.258)

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Wie suka deNgan artikel Ini... Like this.... ^_^
    kunjungi juga ya blog wie...
    http://sunsetyastory.blogspot.com/

    BalasHapus