Sumber Informasi Seni Dan Budaya Jogja

Senin, 16 Januari 2012

Ketobrak Tobong makin tergerus jaman dan “Mati”

           Kesenian dan Kebudayaan merupakan salah satu hal yang selalu ada di setiap daerah. Kesenian adalah salah satu bagian hal yang selalu ditonjolkan untuk memperkenalkan tentang suatu ciri khas dalam daerah yang bersangkutan. Dan kebudayaan adalah suatu adat yang selalu ada di setiap daerah juga. Sehingga seni dan budaya merupakan satu kesatuan yang mungkin menjadi bagian dalam memperkenalkan daerah. Di Yogyakarta sendiri menjadi salah satu daerah yang terbilang sangat berkembang dalam hal seni dan budaya, karena Yogyakarta merupakan kota yang sering menampilkan pertunjukan seni dan budaya. 
            Dapat dilihat kesenian Yogyakarta sangat beragam dan terbilang sangat marak di setiap sudut kota, karena sudah mendapatkan predikat yang begitu kuat terutama dalam hal budaya yang masih terasa kental. Budaya dapat dilihat baik dari cara bergaul, berpakaian, makan dan lain-lain. Di Yogya semua budaya sangat diterima, baik dalam bidang kesenian, sikap, perilaku maupun tradisi dari berbagai pulau pun sangat diterima oleh masyarakat Yogya. Sehingga posisi kota ini yang banyak orang menyebut sebagai kota budaya yang pluralis menerima sebuah perbedaan dan sangat demokratis. Kultur yang pluralis di Yogya sudah terbentuk, sehingga terdapat satu gelombang emosi yang dikeluarkan secara bersama-sama.
Keberagaman budaya sampai saat ini, jika dilihat pada dampak negatifnya hampir tidak ada, karena banyaknya suatu perbedaan yang ada tidak sampai menimbulkan konflik yang sangat serius. Budaya Yogya merupakan salah satu sarana dekade yang tidak dipercaya sebagai piranti untuk pendidikan karakter masyarakat. Dan Yogya sudah membuktikan jika budaya bukan sebagai pembentukan karakter baik itu ras, suku, atau lainnya.
Kesenian ketoprak tobong di Yogya yang saat ini sudah mulai tergesernya dengan perkembangan jaman. Tetapi Yogya, berusaha untuk memperkenalkan dan melestarikan ketoprak tobong walaupun dengan pembentukan yang berbeda. Untuk perkembangan Ketoprak tobong sendiri sudah cukup hilang dengan perkembangan jaman yang sudah cukup tergeser. Seperti era digital yang bersifat personal yang membuat masyarakat berkumpul dengan mencari saluran yang lebih baru dan modern,seperti menonton film.
Hilangnya ketoprak tobong terdapat dua indicator, yang pertama munculnya permasalahan terhadap keistimewaan DIY yang dipersoalkan oleh pusat yang secara sadar atau tidak untuk mendorong para seniman melakukan perlawanan kultural, yang menyangkut tentang keistimewaan daerah yg diurus di Jakarta. Dan Indikator yang kedua, seperti adanya ruang kosong dari generasi muda secara khususnya tentang dunia hiburan yang sudah  di dominasi oleh televisi, dan hal ini sudah masuk sampai ruang-ruang privasi, dan intuasi kita sebagai generasi muda, sehingga masuknya kehidupan sosial menemukan salurannya, karena masyarakat generasi muda sudah tidak lagi bersosialisasi dengan kehidupan yang sebelumnya, yang mengakibatkan adanya domain dalam hidup. 

Perubahan Ketoprak Tobong

            Ketoprak muncul pada abad ke 19 dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, pertama kali ketoprak muncul dari para petani, sambil menumbuk padi dengan lesung yang panjang sambil meyanyikan tembang khas budaya Jawa dan mengajak semua petani untuk bergerak (menari). Awalnya hanya dari lesung panjang tapi sekarang berubah menjadi gamelan. Sekarang ini pun busananya juga ikut berubah, dulu hanya memakai busana petani. Seirirng dengan perkembangannya busana tersebut berubah lagi memakai busana dari timur tengah. Awalnya para pemain hendak memakai busana Jawa, namun pada saat itu masih dalam penjajahan Belanda sehingga mereka tidak diperbolehkan memakainya.
Pada saat Belanda tidak lagi menjajah Indonesia, kostum pentas mereka pun berubah lagi menjadi kostum raja dan permaisuri. Untuk para pemerannya pun berubah, yang dulu perempuan berperan menjadi laki-laki sekarang peran perempuan tetap dilakukan oleh perempuan. Arti dari semuanya adalah perubahan inilah yang membuat ketoprak tetap eksis di masyarakat.
Tobong artinya bambu tempat pengeringan tembakau kemudian ketoprak meminjam tobong dan dijadikan satu yang untuk membuat panggung yang digunakan mereka untuk tampil. Maka disebutlah itu Ketoprak Tobong. Pemain ketoprak tobong itu rata-rata baik dari pemain musik gamelan itu sendiri bisa mencapai 15 sampai 20 orang dan para pemain atau pemerannya bisa mencapai 50 sampai 100 orang apabila dilihat jumlah anggota yang terdahulu. Tempat tinggal para pemain, dahulu mereka menumpang di rumah-rumah penduduk karena pemain yang terlalu banyak.


Mengapa Ketoprak Tobong “Mati” ?
           
            Alasan kenapa ketoprak tobong ini “mati”, karena ketoprak ini sudah tidak mampu mengantisipasi dinamika baik konsep estetika masyarakat juga situasi dan kondisi masyarakat yang sudah berubah. “Ketoprak Tobong bisa saja main dimanapun, baik di dalam gedung atau membuat panggung untuk pentas 17 Agustus. Ia menyayangkan hal inilah yang menjadi keterlambatan teman-teman atau pelaku ketoprak untuk mengantisipasinya,” jelas Bondan tokoh seni.
            “Mereka tidak berpikir kesana dengan mempertahankan bentuk agar tidak kaku, hal ini kan bersifat fleksibel, mereka semua masih dan bergerak tapi tidak di tobong,” kata Bondan saat itu. Tobong merupakan tempat berkreasi. Kreativitas seniman sangat ditentukan dengan cara bagaimana melestarikan ketoprak tobong yang memang harus berubaj baik bentuk, tempat dan cara menyajikannya. Selain itu, Bondan mengungkapkan, hal ini dikarenakan juga perkembangan zaman dan teknologi yang semakin maju dan masyarakat pun semakin cerdas.
            Ketoprak Tobong dapat dikatakan eksis karena adanya campur tangan pihak keraton. Pihak keraton selalu memperkirakan kesenian dan kebudayaan itu tumbuh untuk dilestarikan. Bondan mengibaratkan bahwa pihak keraton semacam benteng kebudayaan plural yang berada di Yogyakarta. Oleh karena itu perubahan yang berada dalam ketoprak itu sendiri merupakn resiko bagi mereka. Resiko dari kreativitas kesenian untuk tetao bertahan adalah perubahan.

 
Kurangnya Dukungan dari Pemerintah Daerah

            Ketoprak tobong adalah salah satu dari banyak macam ketoprak asli Yogyakarta seperti ketoprak panggung, ketoprak tobong, dan ada juga saat ini menjadi ketoprak humor. Dari berbagai macam jenis kesenian itulah Yogyakarta bisa disebut juga kota kebudayaan yang diantaranya ketoprak, ketoprak itu menjadi salah satu kesenian yang ada disini.
Ketoprak tobong yang saat ini sudah tidak pernah terlihat lagi pementasannya dan hampir sekarang orang tidak ada yang tahu. Ketoprak tobong yang sekarang sudah tidak ada yang menampilkan pementasannya lagi, banyak hal yang menyebabkan ketoprak tobong tersebut hilang. “Ketoprak tobong hilang karena banyak faktor, terutama masalah dana yang tidak cocok dengan operasionalnya”, ujar Anjar selaku pemain ketoprak.
Menurut Anjar yang pernah menjadi pemain ketoprak tobong ini mengatakan, tidak begitu adanya promo yang besar dan sosialisasi yang kurang oleh dinas yang bertanggung jawab atas kebudayaan. Dinas kurang memperhatiakan tentang hilangnya ketoprak tobong, meskipun itu adalah warisan yang ditinggalkan. Dari dinas sendiri belum terlihat adanya usaha untuk melestarikan atau menghidupkan kembali ketoprak tobong tersebut.  
Alasan lainnya sehinga ketoprak tobong hilang karena setiap tobong harus mempunyai tobong double agar mempermudah pementasannya. Karena ketoprak tobong pementasannya selalu berpindah tempat sehingga harus mempunyai peralatan tobong double. Sebab setiap ketoprak tobong mempunyai wilayah pentas yang selalu berpindah-pindah dan harus mempunyai dana yang banyak. Hal tersebut yang membuat ketoprak tobong lenyap dari kota Yogyakarta sebagai kota pencetus ketoprak tobong sendiri. Ketoprak tobong asli Yogyakarta sendiri belum ada penerusnya, namun ada beberapa ketoprak tobong yang di bawa dari daerah jawa timur yang memainkan ketoprak ini dan mereka berada di Kalasan. Dan para penontonnya pun sudah tidak banyak peminatnya. Para pemain ketoprak tobong sekarang berubah ke pada ketoprak panggung yang tempat serta kontribusinya juga tidak terlalu banyak. Karena diketoprak panggung tempat sudah tersedia, dan pementasannya pula sudah ditentukan. Namun permasalahannya yaitu para penonton sendiri bukan lagi anak muda, melainkan para orang tua yang senang untuk menonton ketoprak.

 
ketoprak tobong

ketoprak panggung
  “Saya rasa lebih enak memainkan ketoprak panggung,” jelas Anjar ditemui di belakang panggung. Sehingga tetap dapat mengolah bakat serta bisa tetap lestarinya ketoprak di Yogyakarta. Banyak para pemain dulu yang pernah memerankan di ketoprak tobong, tapi sekarang dapat dilihat mereka memilih melanjutkan ketoprak panggung. Ketoprak yan ada saat ini sering bermain di RRI yang diadakan setiap bulan sekali pada minggu pertama. “ada anak muda yang ingin merasakan panggung ketoprak dan melatih seni peran, dan kami selalu menerima untuk itu,” tambahnya.
Hal ini juga dibenarkan oleh Bondan, peran pemerintah bagi kesenian dan kebudayaan sangat penting. Pemerintah dalam orde baru sangat ikut campur dan selalu mengawasi atau membentengi kreativitas seniman. Namun, saat ini keikut sertaan pemerintah hanya tergantung pada masing-masing daerah baik kecamatan maupun kabupaten masing-masing. Secara khusunya ketoprak yang berada di Yogyakarta. Kesenian dan kebudayaan ketoprak yang berada di Yogyakarta sangat diperhatikan karena adanya peran Sultan. Selain itu, Yogyakarta merupakan wilayah yang paling dulu mengenal dan melaksanakan serta memahami demokrasi atau memahami perbedaan.
            “Saya beserta teman-teman di ketoprak tobong hidup dari hasil ketoprak ini dan itu sudah lebih dari cukup bagi kami. Yang terpenting bagi kami selaku para seniman adalah menampilkan yang terbaik dari pementasan kita untuk menyenangkan orang lain,” ucap Bondan sambil dengan mantap.



Tokoh Seni Bondan Nusantara
Sutradara dan pemain Ketoprak

             Kesenian dan kebudayaan di Yogyakarta tidaklah menjadi seni budaya yang dapat mempertahankan perjalanan yang telah lalu. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju dan pesat, kesenian dan kebudayaan akan terus berubah namun ciri khas dan kekhasan tetap ada dan dilestarikan.
            Dia menjelaskan, kesenian ketoprak yaitu Ketoprak Tobong yang berada di wilayah Yogyakarta telah lama menghilang, namun keeksisannya tetap ada dan berkembang. Sudah sewajarnya ketoprak tobong itu hilang dan ke eksisan mereka sampai sekarang, dikarenakan perubahan-perubahan yang berada di dalam ketoprak itu sendiri.

            “Ketoprak tobong secara ekstrimnya harus sudah saatnya untuk berhenti, dengan mengembangkan dan melestarikan ketoprak itu menjadi sesuatu hal yang baru seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju,” kata Bondan ketika menyamblangi kediamannya di daerah kasongan jalan parangtritis.
            Bondan menerangkam, bahwa melestarikan bukan berarti mempertahankan barang mati atau mempertahankan yang sudah alam. Melestarikan juga berarti mengembangkan dengan dasar atau basik yang sama tapi bentuk dan implementasi ke kehidupan sosialnya berbeda. “ibaratkan seperti batik, tidak selamanya menggunakan batik dengan motif biasa, batik juga bisa diperkaya dengan motif dan pernak pernik yang lain,” ungkap wartawan swara kampus kedaulatan rakyat.
Bondan pun melihat dari persfektif sejarahnya, kekhasan kesenian ketoprak dari abad 19 sampai sekarang ini masih ada, hanya saja formatnya sudah berubah mengikuti perkembangan yang ada. Dari ketoprak tobong menjadi ketoprak yang lain tetapi basiknya tetap seni budaya ketoprak. “Ketoprak tobong merupakan bagian kecil dari kesenian dunia ketoprak, sekarang coba saja dicermati ada ketoprak di televisi, ketoprak radio dan ada juga ketoprak di panggung-panggung kesenian yang berbeda dengan ketoprak tobong,” ucap lelaki yang sudah setenga baya ini. Dia juga menambahkan, perbedaannya tidak terlalu signifikasn, hanya saja ketoprak tobong dipentaskan setiap hari berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain sedengkan ketoprak panggung hanya satu atau dua hari selesai dalam pementasannya.


“Keistimewaan, Panggung ketoprak, dan Kehormatan ”
Oleh : Risang Yuwono (anak pemilik ketoprak tobong)
 

Pada sebelas desember 2010 yang lalu, saya berkesempatan untuk datang di acara pembukaan pementasan ketoprak tobong yang pernah melakukan pamit mati di Alun-alun selatan di daerah yang sedang dipertanyakan keistimewaannya itu. Prosesi kematian itu diadakan sebagai jawaban atas situasi krisis yang secara kultural merupakan perjalanan panjang kesenian tradisional yang dulunya menjadi simbol dan perayaan-perayaan pada sosialita masyarakat jawa dan spiritualitasnya. Yang konon tercatat ada sekitar 890 Grup Ketoprak Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pementasan ketoprak tobong kelana bakti budaya sedikit berbeda dari sebelumnya. Semenjak 12 tahun yang lalu dan telah menelusuri jawa timur hingga ke Yogyakarta. Ketoprak ini memasang bandrol tiket rata-rata dulunya seharga Rp. 2500 pada tahun 2000an, kemudian pada enam tahun terakhir di Yogyakarta mereka memasang bandrolnya senial Rp. 5000 untuk kelas 1, dan Rp. 4000, untuk kelas 2. Namun hari itu, pintu masuk terbuka lapang, bahkan di jendela loket yang tidak lagi tertutup, tampak beberapa ibu-ibu minum kopi dan asyik bercakap-cakap. Artinya pementasan kali ini membuka kesempatan bebas tanpa syarat pada siapa saja yang ingin menyaksikannya. Dalam arti sederhana,kita menyebutnya “gratisan” dalam bahasa jawa kita juga mengenal “ rasah mbayar” ( tidak membayar).
Di awal pertunjukkan, lebih tepatnya seusai tari Gambyong dilaksanakan, sebuah sambutan tidak resmi dari juragan ketoprak tobong diawali dengan srepeg khas ketoprak tobong. Laki-laki berambut panjang bercelana pendek itu menyampaikan pernyataannya, bahwasannya setelah pamit pada 31 mei 2010 yang lalu, menjadikan sebuah pelajaran yang mengajarkan untuk mencari kembali citra kebudayaan yang kian hari makin tidak dapat ditemukan letak kehormatannya.
Sebuah kalimat lantang terdengar di seluruh sudut tobong “ tan kenging tinuku arta”, yang berarti tidak dapat di beli oleh uang, merupakan satu pelajaran untuk mengembalikan konsepsi kesenian tradisional di masyarakat dengan tidak dipungut biaya, sekaligus ketoprak ini mencoba membuka wacana harga diri kebudayaan yang tidak boleh sekalipun dihargai berapapun, dan dibeli oleh siapapun.
Saat menengok kembali pamit mati yang diadakan Ketoprak tobong kelana Bakti budaya yang mencoba mendeskripsikan keistimewaan Sultan sebagai pemangku adat dan pelindung atau sekelas raja, sebagian orang di dalam ketoprak tobong itu itu berpikir bahwa Keistimewaan itu sama halnya dengan kesaktian sekelas terbang, menghilang, atau merubah setumpuk batu menjadi emas seperti laik jagoan-jagoan yang suaranya nge-BASS, lamban, tenang, namun sekali mengeluarkan keris atau senjata ,lampu seisi Tobong ketoprak gelap gulita, dan letusan petasan dari balik panggung menghujam seluruh mata dan telinga yang ada di “dunia kecil” ketoprak itu. Namun itu bukan karena kerisnya yang “istimewa”, namun karena semua saklar harus dimatikan demi menambah efek emosianal cerita/ pementasan itu. Dalam Bahasa barat kita mengenalnya dengan “ Special Effect”.
Namun menurut saya mereka sudah rada keliru, karena hari ini kita juga melihat, bahwa rekontruksi bernegara telah saling berhadapan dan sekali lagi mencoba mencabut satu saklar dari sekian laksa simbol keberagaman Nusantara. Entah ini sebuah ilustrasi “Special effect”, atau Genset pembangkit listrik pementasan malam itu, kehabisan solar. Keistimewaan yang di definisikan diatas panggung dengan sederetan effectnya, sepertinya jauh dari pemahaman yang semakin mirip apabila dibandingkan dengan Genset yang kehabisan Solar. begitulah nasib sederhana definisi keistimewaan diatas panggung.
Ironisnya, Keistimewaan sebagai definisi telah menjadi abstrak, kering dan mati, karena kesenian tradisional yang berakar pada nilai- nilai yang berkembang di masyarakat telah luluh lantah tidak berbekas. Bagaimana mungkin kita akan berlindung dari sebuah payung yang tidak bisa bertahan dari hujan, maka ketoprak tobong kelana bakti budaya telah mencoba berdiri kembali sebagai satu dari sekian ratus bahkan ribuan kesenian tradisional yang pernah ada dan mati.
Dari sini saya mencoba menyampaikan pesan kebudayaan, bahwasannya Daerah istimewa Yogyakarta harus mampu menghadapi atau harus mampu pulang kembali pada essensi dan keagungan terminologi Istimewa, sebagai simbiosis yang seharusnya, disandang seperti layaknya akar pada pohon, dan sayap pada elang, dan ibu sebagai tempat untuk pulang.
Maka begitulah benang merah tercipta ketika Ketoprak Tobong Bakti Budaya telah menerima ujian dan menyelesaikannya sendiri tanpa peranan keistimewaan yang sedang diperdebatkan.
Maka ini merupakan momentum bagi kita semua untuk memberi tanggapan atas situasi yang lambat laun akan menenggelamkan masa lalu yang seharusnya merupakan pelajaran berharga sebagai panduan dan ruang sosialisasi yang seharusnya menjadi inti, pola, dan kesadaran genetik sebagai bangsa yang kaya dan beragam warna. Sebagai Fotografer yang dibesarkan bersama Ketoprak tobong Kelana Bakti Budaya, saya menyampaikan sebuah perspektif yang tentunya sangat terbatas, namun sama halnya ketika fotografi berusaha mengambil sebagaian kecil ruang yang tidak terbatas pada mata, dan merefleksikannya pada media rekam, maka ini sekaligus menjadi satu buah gambar sebagai opini yang mencoba saya representasikan diantara Keistimewaan, Panggung ketoprak, dan Kehormatan.

Nama Anggota Kelompok (Kelas B) :


Tina Tri Astuti               (153070212)
Noni Febrina Saetban   (153080085)
Setiawan Yosef             (153080258)
Yulindha Permatasari   (153090318) 
 
Indepth Reporting Jurnalistik Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar